Informasi awal mencuat dari warga sekitar, Awak media yang menelusuri kebenaran kabar ini mendatangi kediaman korban, almarhum AH (75), dan menemui pihak keluarga serta kerabat korban pada Senin, 7 Juli 2025.
Pihak keluarga sempat enggan memberikan keterangan karena merasa takut. Diketahui, pelaku AS dikenal sebagai sosok temperamental dan memiliki pengaruh yang cukup besar di lingkungan sekitar, yang diduga menjadi alasan warga enggan melaporkannya.
Namun, salah satu anak korban yang juga menyaksikan kejadian akhirnya bersedia memberikan keterangan kepada media.
“Waktu itu, ayah saya membeli kelapa dari seseorang. Karena beliau sudah tua, ayah menyuruh kerabat untuk memetik. Ternyata, kelapa yang dipetik—sekitar 10 buah—diduga milik AS,” ujar F, anak kedua korban.
Menurut F, pada malam harinya sekitar pukul 19.30 WIB, ia dan sang ayah mendatangi rumah AS untuk meminta maaf dan menawarkan ganti rugi.
“Bukannya menerima permintaan maaf, AS justru memaki ayah saya dengan kata-kata kasar. Ia menuntut ganti rugi Rp500.000 dan mengancam akan melaporkan ke polisi,” ungkapnya.
F menduga, tekanan dan ancaman yang diterima ayahnya menjadi pemicu serangan jantung yang menyebabkan kematian AH.
“Setelah mendapat tekanan itu, ayah saya langsung roboh. Kami bawa ke puskesmas, tapi nyawanya tidak tertolong,” lanjut F.
Adik dari istri korban berinisial A ,serta kerabat lainnya, membenarkan bahwa sempat terjadi mediasi antara pihak keluarga korban dan AS. Dalam mediasi tersebut, keluarga pelaku menyerahkan sejumlah uang kepada keluarga korban agar kasus ini tidak dilanjutkan ke ranah hukum.
“Sesudah kakak saya meninggal, keluarga korban mengajak saya mediasi. Karena saya tidak tahu awal permasalahan dan mengira kakak saya (almarhum AH) yang bersalah, saya setuju saja,” ungkap adik istri korban
“Waktu itu saya diberi uang Rp20 juta dan diminta menandatangani surat perjanjian damai,” tambahnya.
Saat media mencoba mengonfirmasi ke pihak AS, anak korban berinisial D menolak memberikan keterangan dengan alasan kondisi kesehatannya bapak yang menurun dan baru saja pulang dari berobat.
Perlu di ketahui kasus penganiayaan yang mengakibatkan kematian, termasuk dalam tindak pidana yang tidak bisa diselesaikan secara damai antara pihak keluarga korban dan pelaku. Tindak pidana pembunuhan adalah delik umum, bukan delik aduan, yang berarti penegakan hukumnya menjadi kewenangan negara. Meskipun keluarga korban memaafkan pelaku, proses hukum tetap harus berjalan karena pembunuhan dianggap sebagai kejahatan terhadap kepentingan umum.
Diketahui, penganiayaan yang mengakibatkan kematian merupakan tindak pidana serius. Berdasarkan Pasal 351 KUHP, pelaku dapat diancam hukuman hingga 7 tahun penjara. Jika penganiayaan tergolong berat atau dilakukan dengan rencana, ancaman hukuman dapat mencapai 15 tahun penjara sebagaimana diatur dalam Pasal 355 KUHP.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada keterangan resmi dari aparat penegak hukum mengenai tindak lanjut atas kasus tersebut. Masyarakat berharap agar pihak berwenang segera bertindak.**
0 Komentar