![]() |
| Badan Pemantau Kebijakan Publik (BPKP) melalui Ketua Umumnya, A. Tarmizi, |
BPKP menemukan adanya celah serius dalam implementasi transparansi dan akuntabilitas hukum yang berpotensi melanggar ketentuan perundang-undangan utama BUMD, yaitu PP Nomor 54 Tahun 2017 dan Permendagri Nomor 37 Tahun 2018.
A. Tarmizi menegaskan bahwa proses pemilihan Dirut BUMD, yang mengelola aset dan layanan publik vital, wajib tunduk pada prinsip Tata Kelola Perusahaan yang Baik (GCG): Transparansi, Akuntabilitas, Pertanggungjawaban, Kemandirian, dan Kewajaran (PP 54/2017 Pasal 92).
ANALISIS HUKUM BPKP: ENAM TITIK KRUSIAL RENTAN KETERTUTUPAN
Menurut BPKP, akuntabilitas hukum proses ini sangat bergantung pada keterbukaan di setiap tahapan, yang berawal dari Kuasa Pemilik Modal (KPM/Walikota).
Berikut adalah poin-poin krusial yang dipertanyakan BPKP:
1. Pembentukan Panitia Seleksi (Pansel)
Tuntutan Transparansi: Struktur dan nama anggota Panitia Seleksi wajib diumumkan secara terbuka untuk memastikan Pansel independen dan memiliki kualifikasi. Ketertutupan di awal adalah pintu masuk KKN.
2. Pengumuman dan Seleksi Administrasi
Tuntutan Hukum: Berdasarkan Permendagri 37/2018, pengumuman lowongan harus luas, jelas, dan memuat jadwal rinci. BPKP mendesak agar daftar nama calon yang lolos seleksi administrasi diumumkan ke publik. “Jika daftar nama saja dirahasiakan, bagaimana publik bisa percaya bahwa calon terbaiklah yang akan dipilih?” ujar A. Tarmizi.
3. Uji Kelayakan dan Kepatutan (UKK)
Tuntutan Akuntabilitas: Lembaga pelaksana UKK harus profesional dan independen. BPKP menuntut agar minimal garis besar materi dan metode penilaian UKK diinformasikan, sehingga tidak ada potensi diskriminasi atau kolusi yang bersembunyi di balik “kerahasiaan” hasil.
4. Penetapan Calon Terpilih oleh KPM
Tuntutan Legitimasi: Hasil peringkat/nilai UKK calon yang direkomendasikan kepada KPM (Walikota) harus diinformasikan. “Keputusan Walikota (KPM) harus berbasis meritokrasi, bukan bisik-bisik. Keputusan penetapan wajib disertai justifikasi tertulis berdasarkan hasil seleksi yang terukur,” tegas A. Tarmizi.
5. Kontrak Kinerja
Tuntutan Pertanggungjawaban: Kontrak Kinerja (Permendagri 37/2018 Pasal 45) adalah instrumen hukum pertanggungjawaban Dirut terpilih. BPKP mendesak publikasi wajib Kontrak Kinerja (minimal target-target utamanya) agar kinerja Dirut dapat diawasi langsung oleh warga Bandung.
BAHAYA HUKUM JIKA PROSES TERTUTUP
A. Tarmizi memperingatkan bahwa ketidaktransparanan dalam proses ini berpotensi memiliki konsekuensi hukum serius:
Pelanggaran GCG dan Maladministrasi: Proses yang tidak sesuai prosedur (Permendagri 37/2018 dan Perda Kota Bandung) dapat memicu gugatan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) atau laporan ke Ombudsman RI.
Jalur Korupsi dan Kolusi: “Ketidaktransparanan adalah lahan subur bagi praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN),” kata Tarmizi. Jika hasil seleksi dan pertimbangan KPM ditutup-tutupi, hal ini dapat menjadi celah yang sewaktu-waktu bisa diendus dan ditindaklanjuti oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau Kejaksaan.
REKOMENDASI HUKUM MENDESAK DARI BPKP
BPKP mendesak Walikota Bandung (KPM) untuk mengambil langkah hukum konkrit:
Terbitkan Pedoman Teknis Seleksi: Walikota harus segera menerbitkan Keputusan atau Peraturan yang mengatur secara wajib (mandatori) tentang tata cara, waktu, dan metode pengumuman serta publikasi hasil setiap tahapan seleksi.
Libatkan Independensi Penuh: Pastikan UKK dilakukan oleh Lembaga Profesional Independen yang bereputasi dan hasilnya menjadi pertimbangan utama dan transparan bagi KPM.
“Hanya dengan proses yang transparan, kita akan mendapatkan Dirut Perumda Tirtawening yang memiliki legitimasi kuat secara hukum dan publik, serta benar-benar akuntabel.
Walikota Bandung harus segera buka-bukaan, demi air bersih dan kepentingan publik Kota Bandung!” tutup A. Tarmizi.(red)***



0 Komentar