Subscribe Us


 

Dilema Kepemimpinan Konten dan Krisis Konsensus di Jawa Barat


Oleh: R. Yadi Suryadi – Pengamat Kebijakan Publik dan Politik

MEDIASAKSINEWS -- Kepemimpinan Dedi Mulyadi pasca menjabat Gubernur Jawa Barat menampilkan satu dilema baru dalam tata kelola pemerintahan modern: antara efektivitas kepemimpinan berbasis konten dengan keharusan membangun konsensus kelembagaan.

“Gubernur Konten”: Efisiensi yang Menjebak

Julukan Gubernur Konten bukan sekadar label viral, tetapi simbol dari pergeseran cara berkomunikasi politik di era digital. Melalui publikasi masif aktivitas keseharian, Dedi Mulyadi berhasil menekan biaya komunikasi publik dan mempercepat transparansi birokrasi. Namun, efisiensi ini membawa jebakan serius: ruang demokrasi formal tergeser oleh mekanisme validasi publik melalui media sosial.

“Pemimpin boleh populer karena konten, tapi keputusan publik tetap harus lahir dari musyawarah, bukan dari algoritma,” ujar R. Yadi Suryadi.

Kebijakan-kebijakan yang kontroversial—seperti ide vasektomi bagi penerima bansos atau pengiriman siswa nakal ke barak militer—menjadi contoh nyata bagaimana kecepatan digital mengalahkan kedalaman proses hukum, etika, dan sosiologi. Dalam model kepemimpinan seperti ini, konten menjadi panglima, sementara konsensus menjadi korban.

Retaknya Hubungan dengan Pers dan Ormas

Konflik Dedi Mulyadi dengan media dan organisasi masyarakat tak semata karena anggaran atau pungli, tapi karena perebutan otoritas. Dengan menempatkan media sosial sebagai saluran utama informasi, peran jurnalisme investigatif tereduksi. Media merasa kehilangan fungsi kontrolnya sebagai pilar keempat demokrasi.

Sementara dengan Ormas, kebijakan pengetatan hibah dan pembubaran kelompok yang dianggap premanistik memicu resistensi karena menyentuh sumber daya politik informal. “Masalahnya bukan sekadar uang hibah, tapi tentang kehilangan pengaruh dan pengakuan politik,” kata Yadi.

Kasus Rp 4,1 Triliun: Transparansi Tanpa Sinkronisasi

Polemik antara Purbaya Yudhi Sadewa dari Kemenkeu dan Dedi Mulyadi tentang dana Rp 4,1 triliun yang disebut “mengendap” di Jawa Barat memperlihatkan kegagalan sinergi data yang berubah menjadi drama politik. Pusat berbicara dengan data mentah dari BI, sementara daerah mengacu pada data terverifikasi. Hasilnya: perbedaan teknis berubah menjadi tuduhan publik.

“Transparansi harus berjalan seiring dengan akurasi. Kalau data mentah diumumkan tanpa rekonsiliasi, hasilnya bukan edukasi, melainkan fitnah fiskal,” tegas Yadi.

Ia menilai perlu ada rekonsiliasi data pra-rilis antara pusat dan daerah serta penghentian praktik public shaming lewat konferensi pers yang mencoreng reputasi daerah.

Kontroversi Aqua: Ekologi, Ekonomi, dan Ego

Sidak Dedi Mulyadi ke pabrik Aqua di Subang membuka babak baru dalam hubungan antara pemerintah daerah dan korporasi besar. Temuan bahwa sumber air berasal dari sumur bor dalam—bukan “mata air pegunungan” seperti citra iklan—memantik perdebatan publik.

R. Yadi Suryadi melihat persoalan ini dari tiga sisi:

1. Etika Iklan dan Transparansi Industri – Publik berhak tahu sumber air sebenarnya, tanpa manipulasi persepsi.

2. Dampak Ekologis – Eksploitasi air tanah dalam jangka panjang bisa mengganggu keseimbangan lingkungan dan hak warga atas air bersih.

3. Ketidakjelasan Aliran Dana – Pembayaran antara Aqua, PDAM, dan PJT II perlu diaudit oleh lembaga resmi seperti BPK agar tidak menimbulkan tafsir liar.

“Dedi punya niat baik menjaga lingkungan, tapi ekspresi politik melalui konten sering kali menimbulkan benturan etik dan hukum yang tidak perlu,” ujarnya.

Kembali ke Prinsip: Algoritma Harus Tunduk pada Konstitusi

Gaya kepemimpinan berbasis konten dapat menjadi alat komunikasi efektif jika dikawal oleh proses konstitusional yang jelas. Setiap kebijakan yang akan diviralkan sebaiknya melewati forum formal seperti DPRD, MUI, dan akademisi, agar viralitas tidak menggantikan legitimasi.

“Pemimpin sejati bukan yang paling sering muncul di layar, tetapi yang paling sering melibatkan rakyat dalam keputusan,” tutup R. Yadi Suryadi.***

Posting Komentar

0 Komentar