Dalam pemaparannya, Farhan menyoroti berbagai tantangan yang dihadapi Kota Bandung, termasuk isu sampah dan banjir, serta pentingnya keseimbangan antara inovasi, budaya, dan keimanan dalam membangun kota yang lebih layak huni.
Wilayah Bandung Utara cenderung lebih terpengaruh seni kebarat-baratan, sementara Bandung Selatan lebih religius dan tradisional. Adapun Bandung Barat memiliki budaya yang lebih berakulturasi, termasuk pengaruh budaya Tionghoa.
“Budaya adalah cerminan karakter daerah. Tantangan kita adalah bagaimana menjaga keseimbangan ini agar tetap harmonis,” imbuhnya.
“Membuat kebijakan publik jangan pernah mengesampingkan faktor emosi. Keimanan sangat penting, karena tanpa itu, kebijakan akan terasa kering dan sulit dijalankan dengan empati,” tuturnya.
“Kreativitas itu muncul dari kestabilan. Jika keimanan dan harmoni sudah terbangun, maka masyarakat akan lebih mudah melahirkan inovasi yang lebih maju,” jelasnya.
Sebagai langkah nyata, Farhan mengungkapkan pemerintah kota bekerja sama dengan ITB untuk memperbaiki kawasan Cibangkong, sebagai bagian dari upaya perbaikan lingkungan dan pengentasan masalah sosial.
“Sampah ini bukan sekadar persoalan teknis, tapi juga emosional. Saya sering turun ke TPS bermasalah, melihat langsung kondisinya. Kita harus punya solusi yang konkret dan cepat,” ujarnya.
Ia mengusulkan pendekatan baru dalam pengelolaan sampah dengan prinsip "Sampah Hari Ini Habis Hari Ini". Paradigma baru ini harus diterapkan agar tidak ada lagi penumpukan sampah yang mengganggu lingkungan.
Farhan mengakhiri pemaparannya dengan mengajak masyarakat untuk berkontribusi dalam mewujudkan visi Bandung Utama yakni Unggul, Terbuka, Amanah, Maju, dan Agamis.
“Kota ini harus maju bersama. Tidak boleh ada yang tertinggal dalam pembangunan. Mudah-mudahan kita bisa membangun Bandung yang lebih baik dengan semangat inovasi, keimanan, dan kepedulian lingkungan,” ungkap Farhan. (rob)**
0 Komentar