![]() |
Warga Cicabe demo TPST (Foto: Anindya Aurelliia/detikJabar). |
Disampaikan oleh Ketua Paguyuban Komplek City Garden Cicabe Muhammad Arfan, warga akan terus menolak langkah pemerintah jika TPST bakal dibangun di dekat permukiman mereka.
Dilansir detikjabar "Kami akan terus menyuarakan dan baru berhenti setelah pemerintah merelokasi. Lereng sampah ini 15 meter ke bawah, tanah kerasnya sejajar dengan rumah kami. Radiusnya juga 100-120 meter dari permukiman. Kami berharap suara kami bisa mengetuk hati DPRD dan pemerintahan, jangan ada kepentingan sendiri tapi mengorbankan humanity," kata Arfan diiringi teriakan setuju oleh warga lainnya.
Komplek City Garden yang terletak di bawah lereng lahan Eks TPA Cicabe dihuni oleh 175 KK. Mereka menyuarakan mendukung langkah Pemkot Bandung untuk menyelesaikan masalah namun menuntut relokasi.
"Kami dukung mewujudkan Citarum Harum, tapi berikan edukasi lebih tepat di lapisan terbawah agar paham akan sampah. Sosialisasi sudah dilakukan tapi kalau masih di sini ya udara kami tercemar. Tuntutan kami untuk direlokasi atau jangan di Cicabe," ucap Arfan.
Elprida, salah satu warga Komplek City Garden juga menyayangkan, tanggapan pemerintah yang menganggap warga belum paham soal TPST. Menurutnya, para warga sudah mengumpulkan bukti-bukti dan membuat catatan audiensi. Mereka paham betul bahwa pembangunan TPST ini beresiko.
"Kami ingin mengutarakan bahwa sebetulnya yang jadi masalah ini pemilihan lahan dan konstruksi. Kalau operasional 2 tahun pertama kan dari APBD yang dikelola DLH itu mungkin baik ya. Tapi konstruksinya ini akan dibangun fasilitas skala pabrik dengan beban berton-ton, di atas tanah labil. Struktur tanah tidak akan memungkinkan," ujar Elprida.
Dia menyebut, Pemerintah tak punya bukti nyata bahwa stabilitas tanah di eks TPA Cicabe tak bakal lengser setelah adanya pembangunan tersebut. Pembangunan di atas lahan urug sampah belum pernah dilakukan di kota manapun.
"Stabilitas tanah diragukan. Pembangunan di atas sampah dan lereng ini belum pernah dilakukan. Di bawah lereng ada rumah warga. Tidak ada analisa topografi miring dengan tanah yang sejajar rumah penduduk. Mereka akan membangun di atas tumpukan sampah, berarti kan ini coba-coba. Masak kami dikorbankan, nanti longsornya ke kami. Ini belum jadi perhatian karena belum ada bangunan di sini," ucapnya sambil menunjukkan foto lokasi bakal pembangunan TPST.
Warga pun menuntut jika Pemerintah keukeuh untuk membangun TPST di atas lahan eks TPA Cicabe, maka struktur atau desain TPST diuji coba dulu di TPA.
"Coba bawa semua mesin dan colok di lahan sampah TPA. Turun nggak tanahnya, longsor nggak? Pikirkan keamanan kami. Ada lereng yang di atasnya bangunan berat," ucap Elprida.
Warga Keluhkan Bau Sampah
Selain bahaya akan tumpukan sampah yang labil, warga juga resah wilayahnya akan dilakui dengan truk sampah. Menurut mereka, jalan Abdul Hamid yang kecil memang tidak didesain untuk mobil angkutan yang besar.
"Hunian kami akan rendah. Sampah yang dikirim sebanyak 30-40 ton. Kalau offtakernya nggak betul, 30 tahun nggak diolah malah jadi tumpukan sampah. Kami ini disangka tidak paham. Sosialisasi sudah disampaikan, mereka bilang kalau akan tetap bau tapi seperti peyeum. Itu tetep bau karena fermentasi sampah dengan cairan kimia," kata Arfan.
Sementara Tria, ibu rumah tangga yang sudah tinggal di komplek tersebut sejak tahun 2019 juga merasakan dampak saat 2 minggu TPS Cicabe kembali dibuka.
"Saya tahu TPA itu ditutup tahun 2005 karena warga nggak setuju. Kemarin dibuka sementara baru dua minggu saja baunya Masyaallah, pagi-pagi bukannya seger. Kalau saya keluar komplek, papasan truk sampah itu air sampah atau lindinya juga bikin bau berceceran di jalan," keluh Tria.
Ia juga merasa miris sebab jalan tersebut terdapat sekolah, kantor pemerintahan, hingga padat permukiman. Puluhan ton sampah yang dibawa oleh truk akan membuat bau dan limbah.
"Saat TPA ditutup, baunya tidak ada. Tapi saya sering olahraga pagi-pagi, tanah bekas TPA itu keluar asap dari bawah tanahnya. Bayangkan kalau itu masih akan dipaksakan, jelas bahaya apalagi sekarang Sarimukti kebakaran karena sedang musim kemarau," kata dia.
"Belum lagi lalat hijau yang sangat banyak dan ukurannya besar. Itu paling susah dikendalikan karena terbang seharian dan bahaya untuk kesehatan. Beruntungnya kami belum ada yang sakit dan tidak mencemari ke air, tapi jelas udara dan khawatir potensi kebakaran atau ledakan. Di Bandung Timur kayak arah Pasir Impun itu lahan kosong masih banyak. Silahkan direlokasi," ucapnya menambahkan.**
Tim Redaksi
0 Komentar